Kamis, 24 Juni 2010

Penggunaan Kekuatan Militer dalam Melawan Terorisme

WALKING AN INTERNATIONAL

LAW TIGHTROPE:

USE OF MILITARY FORCE TO COUNTER

TERRORISM-WILLING THE ENDS

Pada hakekatnya, setiap negara menginginkan perdamaian, tidak ada perang ataupun konflik. Keinginan akan perdamaian ini dibuktikan dengan pembentukan Liga Bangsa-bangsa (LBB) yang merupakan cikal-bakal dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk menhindari dan menghentikan perang. Namun, perdamaian tidak selalu berjalan lancer. Runtuhnya LBB menjadi bukti bahwa peperangan selalu ada yang ditandai dengan munculnya PD II. Baiknya, setiap negara menyadari betapa pentingnya perdamaian. Pembentukan PBB menjadi bukti nyata bahwa perdamaian adalah mutlak bagi setiap negara dan hingga sekarang tidak ada perang yang muncul secara terang-terangan.

Dewasa ini, perang sudah menjadi suatu hal yang tabu dan bodoh jika suatu negara berperang. Suasana sistem internasional dirasakan sangat kondusif dan perdamaian telah berlangsung cukup lama. Akan tetapi, ada satu masalah bersama yang dapat mengusik perdamaian itu, bukan perang gaya modern, melainkan terorisme.

Kata terorisme berasal dari bahasa latin yakni Terrere (gemetaran) dan Deterrere (takut)[1]. Defenisi terorisme, berdasarkan konvensi PBB tahun 1939, adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Sedangkan menurut Departemen Pertahanan Amerika Serikat, terorisme merupakan perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama, atau ideologi. Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat memahami bahwa unsur utama dari terorisme adalah penggunaan kekerasan yang dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci (agama), motif ekonomi, dan balas dendam, membebaskan tanah air, menyingkirkan musuh politik, dan bahkan gerakan separatis.[2]

Faktanya, terorisme sudah ada bahkan jauh sebelum adanya perang pertama. Namun, terorisme muncul dan mulai membahayakan perdamaian internasional pada abad ke-20, tepatnya sejak periode pasca Perang Dunia II. Kemunculan terorisme internasional modern pertamakali terjadi pada tanggal 22 Juli 1968 saat tiga orang dari kelompok Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) membajak sebuah penerbangan komersil Israel “El Al” yang sedang terbang dari Roma, Italia ke Tel Aviv, Israel. Terorisme kemudian mencapai puncaknya dan menjadi agenda internasional pada tanggal 11 September 2001 yang dikenal dengan tragedi “nine eleven.” Dalam aksinya, teroris membajak tiga pesawat penerbangan komersil Amerika Serikat yang mana dua dari tersebut ditabrakkan ke gedung kembar World Trade Center (WTC) dan gedung pentagon. Tragedi ini kemudian menjadi titik tolak Amerika yang kemudian mengajak dunia internasional untuk memerangi terorisme. Dari sinilah kemudian dunia internasional memiliki kepentingan bersama (common interest) untuk menangani terorisme.

Keinginan bersama untuk mengatasi permasalahan terorisme ini dituangkan dalam berbagai peraturan internasional, mulai dari Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft atau yang lebih dikenal dengan Hague Convention tahun 1970 hingga Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1368 tanggal 12 September 2001 yang berkaitan dengan tragedi nine eleven[3]. Walaupun sangat terbatas, ada dua belas perjanjian internasional yang juga berkaitan dengan terorisme[4]:

a) Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (“Tokyo Convention,” 1963),

b) Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague Convention,” 1970),

c) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (“Montreal Convention,” 1971),

d) Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973),

e) International Convention Against the Taking of Hostages (“Hostages Convention,” 1979),

f) Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials Convention,” 1980),

g) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation (1988),

h) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (1988),

i) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988),

j) Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (1991),

k) International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997 UN General Assembly Resolution), dan

l) International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (1999) Cyber-terorisme.

Peraturan mengenai tindakan suatu negara dalam menanggapi aksi terorisme juga tertera dalam piagam PBB. PBB, sebagai organisasi internasional terbesar di dunia, mengharuskan tiap-tiap negara untuk menggunakan cara-d-cara damai, tiap negara anggota PBB dilarang untuk menggunakan kekerasan.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan keterbatasan perjanjian internasional tersebut, banyak negara memilih mengambil tindakan sendiri sebagai respon dari pembelaan diri/self-defence. Negara-negara tersebut mulai meragukan dan menganggap “collective security” sudah tidak relevan lagi dewasa ini. Tidak jarang, suatu negara menggunakan kekerasan dalam bentuk kekuatan militer untuk melawan terorisme. Padahal, penggunaan kekerasan/kekuatan militer sangat bertentangan dengan isi piagam PBB seperti pasal 2 ayat 4 yang mengharuskan adanya kerjasama, serta pasal 51 yang mengharuskan penggunaan jalan damai dalam menangani terorisme. Selain itu, dalam pasal 33 juga tertera dengan jelas bahwa[5]:

“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, concilliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.”

Jadi, berdasarkan beberapa contoh pasal dalam Piagam PBB tesebut di atas, setiap negara dalam upaya menangani terorisme harus menggunakan cara damai serta melakukan kerjasama yang berarti menghindari tindakan sendiri/tanpa sepengetahuan negara lain. Dalam Piagam PBB juga terdapat pengecualian yang memperbolehkan suatu negara untuk menggunakan kekerasan dalam melawan terorisme. Akan tetapi, pengecualian itu berlaku hanya jika negara bersangkutan diserang secara langsung terlebih dahulu oleh teroris.

Mengenai penggunaan kekuatan militer sebagai hak suatu negara dalam menangani terorisme, terdapat tiga pemikiran yang memiliki argument berbeda satu sama lain.

1. The Restrictionist Approach

Pemikiran ini berpendapat bahwa penggunaan kekuatan militer /kekerasan tidak dapat dibenarkan. Pengecualian seperti yang tertera pada pasal 2 ayat 4 dan pasal 51 berlaku apabila suatu negara menghadapi serangan bersenjata secara nyata. Pemikiran ini juga berpendapat bahwa, berdasarkan isi Piagam PBB, self defence hanya boleh dilakukan jika yang melakukan serangan adalah negara.

2. The Counter-Restrictionist Approach

Bertentangan dengan Restrictionist Approach, pemikiran ini membenarkan penggunaan kekuatan militer dengan alasan untuk melindungi kedaulatan dan kemerdekaan suatu negara. Selain itu, pemikiran ini juga menganggap setiap serangan dari luar, dalam bentuk apapun, bisa saja dihadapi dengan kekuatan militer untuk mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan, batas wilayah, serta properti negara.

3. Anticipatory Self-Defence

Anticipatory self-defense atau yang sering disebut dengan pre-emptive self-defense merupakan tindakan suatu negara untuk mengatasi terorisme sebelum aksi terorisme tersebut terjadi. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah aksi terorisme terhadap suatu negara.

Contoh konkrit dari pemikiran ini misalnya serangan Israel terhadap Iraq tahun 1981. Dengan dalih khawatir akan menjadi sasaran pengembangan senjata nuklir Iraq, Israel menggunakan kekuatan militernya untuk menyerak kota Osirak, Iraq. Tindakan antisipatoris Israel ini mendapat kecaman dari Dewan Keamanan PBB dan dunia internasional karena pada hakekatnya, penggunaan kekerasan tidak dapat dibenarkan.

Kejadian serupa mengenai tindakan antisipatoris ini adalah invasi Iraq oleh Amerika Serikat tahun 2001. Amerika menyatakan bahwa Iraq memiliki senjata pemusnah massal dan keberadaan Saddam Husein yang disinyalir sebagai pemimpin jaringan teroris internasional, Al Qaeda, sangat membahayakan keamanan internasional dan Amerika sendiri. Dengan aksi antisipatorisnya, AS mengirimkan pasukan bersenjatanya ke Iraq. Namun, seperti Israel, Amerika juga mendapat kecaman internasional karena, hingga sekarang, keberadaan senjata nuklir di Iraq tidak dapat dibuktikan.

ü Humanitarian Intervention

Di dalam Bab VIII Piagam PBB diatur dengan jelas mengenai humanitarian intervention. Bab ini berkaitan dengan penggunaan kekuatan militer dalam menangani terorisme. Apabila aksi terorisme telah melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) dalam skala yang besar serta negara yang bersangkutan tidak dapat mengatasinya dan mengancam perdamaian internasional, maka terdapat pengecualian untuk menggunakan kekuatan militer. Intervensi ini boleh dilakukan tanpa ada izin dari negara yang bersangkutan. Salah satu contoh kasusnya adalah intervensi NATO di Yugoslavia, 24 Maret 1999. Pada saat itu, terjadi pelanggaran HAM yang sangat berat oleh tentara Serbia yang membantai etnis di Kosovo. Kasus ini menjadi masalah internasional dan dipandang sebagai aksi terorisme karena mengancam perdamaian internasional dan bersifat tidak manusiawi, kejam, dan terorganisir.

Selain itu, humanitarian intervention dapat dilakukan oleh negara tertentu, sekalipun tanpa persetujuan PBB, jika ada warga sipil yang terjebak dalam perang[6]. Humanitarian Intervention juga diatur dalam konvensi Genewa yang menjadi hukum perang.

ü Memerangi Terorisme

Banyak pihak beranggapan bahwa penggunaan kekuatan militer dapat menghentikan terorisme secara tuntas. kenyataannya adalah sebaliknya. Tindakan melawan terorisme seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris dan Australia terhadap Iraq dan Afganistan memang terbukti efektif. Namun, itu hanya dalam jangka waktu yang sebentar dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Menindak para pelaku aksi terorisme dengan kekerasan justru akan membuat mereka merasa seperti pahlawan. Fakta menunjukkan bahwa membunuh pelaku, mengisolasi, dan memenjarakan pemimpin organisasi teroris dapat menghentikan tindak terorisme, namun tidak berlangsung lama.[7]

Maka dapat kita simpulkan bahwa, bukan dengan kekerasan, sangatlah penting untuk menerapkan cara-cara lain yang bersifat persuasif dan akomodatif terhadap kepentingan berbagai kelompok yang dianggap berpotensi melakukan tindakan terorisme, seperti kelompok yang termaginalisasi atau dirugikan atas penerapan kebijakan selama ini. Selain itu, untuk menangani terorisme sebaiknya lebih mengedepankan solusi politik. Solusi politik ditujukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cara pertama, merekonstruksi kebijakan terhadap kawasan konflik, dan kedua, menghentikan tindakan unilateralisme dan mengedepankan multilateralisme[8]. Jadi, jelas bahwa penggunaan kekuatan militer/kekerasan dalam melawan terorisme tidaklah selalu efektif.

Selain itu, penanganan terorisme harus dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan semua pihak karena, jika tidak, hanya akan menimbulkan kekacauan yang baru.penggunaan kekuatan militer juga akan melanggar komitmen negara sebagai anggota organisasi internasional, yakni menjaga dan menciptakan perdamaian internasional.


[1] Rosyada, S. H., Peperangan Melawan Terorisme, http://www.pemantauperadilan.com/opini/28.PEPERANGAN%20MELAWAN%20TERORISME.pdf, diakses pada tanggal 13 November 2009 pkl. 18.11

[2] http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorutisi=2, diakses pada tanggal 13 November 2009 pkl. 18.15

[3] Terorisme dalam Perspektif Hukum Internasional, http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hukum-pidana-internasional/terorisme-dalam-perspektif-hukum-internasional, diakses pada tanggal 13 November 2009 pkl. 18.19

[4] Ibid, Terorisme dalam Perspektif Hukum Internasional

[5] Ibid, Terorisme dalam Perspektif Hukum Internasional

[6] Geoffrey Robertson, Crimes Against Humanity: The Struggle for Global Justice (England: Allen Lane The Penguin Press, 1999), hlm. 156

[7] Robert A. Pape, The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2003), hlm. 14-15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar